Kebudayaan Đông Sơn
Kebudayaan
Đông Sơn adalah kebudayaan zaman perunggu yang
berkembang di Lembah Sông Hồng, vietnam. Kebudayaan
ini juga berkembang di asia tenggara,
termasuk di nusantara dari
sekitar 1000 SM sampai 1 SM.
Kebudayaan
Dongson mulai berkembang di Indochina pada masa peralihan dari periode mesolitik dan neolitik yang
kemudian periode megalitik.
Pengaruh kebudayaan Dongson ini juga berkembang menuju Nusantara yang kemudian
dikenal sebagai masa kebudayaan perunggu
Asal
mula kebudayaan ini berawal dari evolusi kebudayaan Austronesia . Asal usulnya
sendiri telah dicar adalah bangsa yue-tche yang merupakan orang orang barbar yang
muncul di barat daya China sekitar abad ke-8 SM. Namun pendapat ini sama halnya
dengan pendapat yang mengaitkan Dongsaon dengan kebudayaan halstatt yang ternyata
masih diragukan kebenarannya.
Asumsi
yang digunakan adalah bahwa benda-benda perunggu di yunnan dengan
benda-benda yang ditemukan di Dongson. Meski harus dibuktikan apakah
benda-benda tersebut dibuat oleh kelompok-kelompok dari Barat sehingga dari
periode pembuatannya, dapat menentukan apakah benda tersebut adalah model untuk
Dongson atau hanyalah tiruan-tiruannya. Jika dugaan ini benar maka dapat
menjelaskan penyebaran kebudayaan Dongson sampai ke dataran tinggi burma.
Pengaruh
China yang berkembang pesat juga ikut memengaruhi Kebudayaan Dongson terlebih
lebih adanya ekspansi penjajahan China yang mulai turun ke
perbatasan-perbatasan tonkin.
Hal ini dilihat dari motif-motif hiasan Dongson memberikan model benda-benda
perunggu China pada masa kerajaan-kerajaan Pendekar. Itulah sumber utama seni
Dongson yang berkembang sampai penjajahan dinasti han yang
merebut Tonkin pada tahun 111 SM.
Meski demikian , kebudayaan Dongson kemudian memengaruhi kebudayaan Indochina
selatan terutama kesenian Cham.
Ada
pula yang berpendapat bahwa kebudayaan ini mendapat pengaruh hellenisme melalui model-model yang
datang dari arah selatan dan Fu-nan yang merupakan kerajaan besar Indochina
pertama yang mendapat pengaruh India. Namun pendapat ini tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
Kebudayaan
Dongson yang berkembang di situs Dongson, ternyata juga ditemukan karya-karya
budaya yang diinspirasikan oleh kebudayaan tersebut di bagian selatan semenanjung indochina (samrong, battambang di kamboja) hingga
Semenanjung Melayu (Sungai Tembeling di Pahang dan Klang di Selangor) hingga
Nusantara (Indonesia). dengan pola hidup nomaden, bermata pencaharian berburu
manusia ini menghasilkan budaya paleolithikum kemudian terjadilah migrasi
melanesoid dari teluk Tonkin.
Kebudayaan Bacson - Hoabinh
Di Pegunungan Bacson dan di Provinsi
Hoabinh dekat Hanoi, Vietnam, oleh peneliti Madeleine Colani ditemukan sejumlah
besar alat yang kemudian dikenal dengan kebudayaan Bacson-Hoabinh. Jenis alat
serupa juga ditemukan di Thailand, Semenanjung Melayu, dan Sumatra.
Peninggalan-peninggalan di Sumatra berupa bukit-bukit kerang yang
dinamakan kjokkenmoddinger (sampah dapur) yang memanjang dari Sumatra
Utara sampai Aceh.
Ciri dari kebudayaan Bacson-Hoabinh adalah
penyerpihan pada satu atau dua sisi permukaan batu kali yang berukuran satu
kepalan dan bagian tepinya sangat tajam. Hasil penyerpihannya menunjukkan
berbagai bentuk, seperti lonjong, segi empat, dan ada yang bentuknya
berpinggang. Di wilayah Indonesia, alat-alat batu kebudayaan Bacson-Hoabinh
ditemukan di Papua, Sumatra, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Penyebaran kebudayaan
Bacson-Hoabinh bersamaan dengan perpindahan ras Papua Melanesoid ke Indonesia
melalui jalan barat dan jalan timur (utara). Mereka datang di Nusantara dengan
perahu bercadik dan tinggal di pantai timur Sumatra dan Jawa, namun mereka
terdesak oleh ras Melayu yang datang kemudian. Akhirnya, mereka menyingkir ke
wilayah Indonesia Timur dan dikenal sebagai ras Papua yang pada masa itu sedang
berlangsung budaya Mesolitikum sehingga pendukung budaya Mesolitikum adalah
Papua Melanesoid. Ras Papua ini hidup dan tinggal di gua-gua (abris sous roche)
dan meninggalkan bukit-bukit kerang atau sampah dapur (kjokkenmoddinger). Ras
Papua Melanesoid sampai di Nusantara pada zaman Holosen. Saat itu keadaan bumi
kita sudah layak dihuni sehingga menjadi tempat yang nyaman bagi kehidupan
manusia.
Penyelidikan kjokkenmoddinger dilakukan
oleh Dr. P.V. Van Stein Callenfels tahun 1925. Juga banyak ditemukan kapak genggam
yang kemudian dinamakan kapak Sumatra, terbuat dari batu kali yang dibelah,
sisi luarnya tidak dihaluskan, dan sisi dalamnya dikerjakan sesuai dengan
keperluan. Jenis lain adalah kapak pendek (hache courte), bentuknya setengah
lingkaran, bagian tajamnya pada sisi lengkung. Ditemukan pula batu penggiling
(pipisan) sebagai penggiling makanan atau cat merah, ujung mata panah,flakes,
dan kapak Proto Neolitikum.
Ras Papua Melanesoid hidup masih setengah
menetap, berburu, dan bercocok tanam sederhana. Mereka hidup di gua dan ada
yang di bukit sampah. Manusia yang hidup di zaman budaya Mesolitikum sudah
mengenal kesenian, seperti lukisan mirip babi hutan yang ditemukan di Gua
Leang-Leang (Sulawesi). Lukisan tersebut memuat gambar binatang dan cap telapak
tangan.
Mayat dikubur dalam gua atau bukit kerang
dengan sikap jongkok, beberapa bagian mayat diolesi dengan cat merah. Merah
adalah warna darah, tanda hidup. Mayat diolesi warna merah dengan maksud agar
dapat mengembalikan kehidupannya sehingga dapat berdialog. Kecuali alat batu,
juga ditemukan sisa-sisa tulang dan gigi-gigi binatang seperti gajah, badak,
beruang, dan rusa. Jadi, selain mengumpulkan binatang kerang, mereka pun
memburu binatang-binatang besar.
Di daerah Sumatra alat-alat batu jenis kebudayaan
Bacson-Hoabinh ditemukan di Lhokseumawe dan Medan. Di Pulau Jawa, alat
kebudayaan yang sejenis kebudayaan Bacson-Hoabinh ditemukan di daerah sekitar
Bengawan Solo, yakni bersamaan waktu penggalian fosil manusia purba. Peralatan
yang ditemukan dibuat dengan cara yang sederhana, belum diserpih dan belum
diasah. Alat tersebut diperkirakan dipergunakan oleh jenis Pithecanthropus
erectus di Trinil, Jawa Timur.