Selasa, 20 Oktober 2015

KEBUDAYAAN DONGSON & BASCON - HOABINH

Kebudayaan Đông Sơn
Kebudayaan Đông Sơn adalah kebudayaan zaman perunggu yang berkembang di Lembah Sông Hồng, vietnam. Kebudayaan ini juga berkembang di asia tenggara, termasuk di nusantara dari sekitar 1000 SM sampai 1 SM.
Kebudayaan Dongson mulai berkembang di Indochina pada masa peralihan dari periode mesolitik dan neolitik yang kemudian periode megalitik. Pengaruh kebudayaan Dongson ini juga berkembang menuju Nusantara yang kemudian dikenal sebagai masa kebudayaan perunggu
Asal mula kebudayaan ini berawal dari evolusi kebudayaan Austronesia . Asal usulnya sendiri telah dicar adalah bangsa yue-tche yang merupakan orang orang barbar yang muncul di barat daya China sekitar abad ke-8 SM. Namun pendapat ini sama halnya dengan pendapat yang mengaitkan Dongsaon dengan kebudayaan halstatt yang ternyata masih diragukan kebenarannya.
Asumsi yang digunakan adalah bahwa benda-benda perunggu di yunnan dengan benda-benda yang ditemukan di Dongson. Meski harus dibuktikan apakah benda-benda tersebut dibuat oleh kelompok-kelompok dari Barat sehingga dari periode pembuatannya, dapat menentukan apakah benda tersebut adalah model untuk Dongson atau hanyalah tiruan-tiruannya. Jika dugaan ini benar maka dapat menjelaskan penyebaran kebudayaan Dongson sampai ke dataran tinggi burma.
Pengaruh China yang berkembang pesat juga ikut memengaruhi Kebudayaan Dongson terlebih lebih adanya ekspansi penjajahan China yang mulai turun ke perbatasan-perbatasan tonkin. Hal ini dilihat dari motif-motif hiasan Dongson memberikan model benda-benda perunggu China pada masa kerajaan-kerajaan Pendekar. Itulah sumber utama seni Dongson yang berkembang sampai penjajahan dinasti han yang merebut Tonkin pada tahun 111 SM. Meski demikian , kebudayaan Dongson kemudian memengaruhi kebudayaan Indochina selatan terutama kesenian Cham.
Ada pula yang berpendapat bahwa kebudayaan ini mendapat pengaruh hellenisme melalui model-model yang datang dari arah selatan dan Fu-nan yang merupakan kerajaan besar Indochina pertama yang mendapat pengaruh India. Namun pendapat ini tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Kebudayaan Dongson yang berkembang di situs Dongson, ternyata juga ditemukan karya-karya budaya yang diinspirasikan oleh kebudayaan tersebut di bagian selatan semenanjung indochina (samrong, battambang di kamboja) hingga Semenanjung Melayu (Sungai Tembeling di Pahang dan Klang di Selangor) hingga Nusantara (Indonesia). dengan pola hidup nomaden, bermata pencaharian berburu manusia ini menghasilkan budaya paleolithikum kemudian terjadilah migrasi melanesoid dari teluk Tonkin.




Kebudayaan Bacson - Hoabinh


      Di Pegunungan Bacson dan di Provinsi Hoabinh dekat Hanoi, Vietnam, oleh peneliti Madeleine Colani ditemukan sejumlah besar alat yang kemudian dikenal dengan kebudayaan Bacson-Hoabinh. Jenis alat serupa juga ditemukan di Thailand, Semenanjung Melayu, dan Sumatra. Peninggalan-peninggalan di Sumatra berupa bukit-bukit kerang yang dinamakan kjokkenmoddinger (sampah dapur) yang memanjang dari Sumatra Utara sampai Aceh.
    Ciri dari kebudayaan Bacson-Hoabinh adalah penyerpihan pada satu atau dua sisi permukaan batu kali yang berukuran satu kepalan dan bagian tepinya sangat tajam. Hasil penyerpihannya menunjukkan berbagai bentuk, seperti lonjong, segi empat, dan ada yang bentuknya berpinggang. Di wilayah Indonesia, alat-alat batu kebudayaan Bacson-Hoabinh ditemukan di Papua, Sumatra, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Penyebaran kebudayaan Bacson-Hoabinh bersamaan dengan perpindahan ras Papua Melanesoid ke Indonesia melalui jalan barat dan jalan timur (utara). Mereka datang di Nusantara dengan perahu bercadik dan tinggal di pantai timur Sumatra dan Jawa, namun mereka terdesak oleh ras Melayu yang datang kemudian. Akhirnya, mereka menyingkir ke wilayah Indonesia Timur dan dikenal sebagai ras Papua yang pada masa itu sedang berlangsung budaya Mesolitikum sehingga pendukung budaya Mesolitikum adalah Papua Melanesoid. Ras Papua ini hidup dan tinggal di gua-gua (abris sous roche) dan meninggalkan bukit-bukit kerang atau sampah dapur (kjokkenmoddinger). Ras Papua Melanesoid sampai di Nusantara pada zaman Holosen. Saat itu keadaan bumi kita sudah layak dihuni sehingga menjadi tempat yang nyaman bagi kehidupan manusia.
      Penyelidikan kjokkenmoddinger dilakukan oleh Dr. P.V. Van Stein Callenfels tahun 1925. Juga banyak ditemukan kapak genggam yang kemudian dinamakan kapak Sumatra, terbuat dari batu kali yang dibelah, sisi luarnya tidak dihaluskan, dan sisi dalamnya dikerjakan sesuai dengan keperluan. Jenis lain adalah kapak pendek (hache courte), bentuknya setengah lingkaran, bagian tajamnya pada sisi lengkung. Ditemukan pula batu penggiling (pipisan) sebagai penggiling makanan atau cat merah, ujung mata panah,flakes, dan kapak Proto Neolitikum.
     Ras Papua Melanesoid hidup masih setengah menetap, berburu, dan bercocok tanam sederhana. Mereka hidup di gua dan ada yang di bukit sampah. Manusia yang hidup di zaman budaya Mesolitikum sudah mengenal kesenian, seperti lukisan mirip babi hutan yang ditemukan di Gua Leang-Leang (Sulawesi). Lukisan tersebut memuat gambar binatang dan cap telapak tangan.
     Mayat dikubur dalam gua atau bukit kerang dengan sikap jongkok, beberapa bagian mayat diolesi dengan cat merah. Merah adalah warna darah, tanda hidup. Mayat diolesi warna merah dengan maksud agar dapat mengembalikan kehidupannya sehingga dapat berdialog. Kecuali alat batu, juga ditemukan sisa-sisa tulang dan gigi-gigi binatang seperti gajah, badak, beruang, dan rusa. Jadi, selain mengumpulkan binatang kerang, mereka pun memburu binatang-binatang besar.
    Di daerah Sumatra alat-alat batu jenis kebudayaan Bacson-Hoabinh ditemukan di Lhokseumawe dan Medan. Di Pulau Jawa, alat kebudayaan yang sejenis kebudayaan Bacson-Hoabinh ditemukan di daerah sekitar Bengawan Solo, yakni bersamaan waktu penggalian fosil manusia purba. Peralatan yang ditemukan dibuat dengan cara yang sederhana, belum diserpih dan belum diasah. Alat tersebut diperkirakan dipergunakan oleh jenis Pithecanthropus erectus di Trinil, Jawa Timur.